Tema esai ;Menjinakan Komersialisasi dan Komoditasi
Pendidikan
Judul :Pendidikan
VS Kemiskinan
Susahnya menjadi orang susah,segala sesuatu serba susah.Bahkan pendidikan yang
bertujuan untuk mencerdaskan bangsa malah jadi menyusahkan rakyat
jelata.Mungkin keuangan yang maha kuasa kini telah menjadi slogan Bangsa
kita.Kemiskinan membudaya, dan generasi penerus bangsa makin punah dengan
kemiskinannya.
Pendidikan sekarang ini nyaris tidak bisa di sentuh tangan orang tak
punya. Komersialisasi pendidikan kini telah menjamur di lembaga pendidikan di
Indonesia.Orang miskin semakin dicekik oleh kemiskinannya dan kesenjangan
sosial semakin nampak di permukaan. Orang yang berpenghasilan besar semakin
nyaman dengan penghasilannya dan orang yang berpenghasilan kecil semakin sulit
memenuhi kebutuhannya.
Sekarang kita Tanya pada diri kita sendiri,apakah pendidikan mempunyai misi
untuk meningkatkan intelektualitas aset penerus bangsa atau meningkatkan
keuangan suatu lembaga Pendidikan?.Mungkin kita bisa mendapatkan jawabannya
dari tarif biaya sekolah yang semakin melambung tinggi, atau persaingan ketat
antar lembaga pendidikan dengan memasang tarif biaya masuk
besar-besaran.semakin besar biaya pendidikan, semakin menciut saja nyali orang
berduit pas-pasan. Dengan begitu pendidikan yang harusnya dimulyakan sebagai
wadah ilmu dunia dan akhirat, kini mulai terabaikan. Karena pendidikan
mahal tak seimbang bagi rakyat kecil yang tak mampu menyetarakan dirinya
dengan orang berduit di dunia pendidikan. Meskipun terkadang uang tidak menjadi
sebuah masalah bagi orang yang berkemaua dan memahami pentingnya pendidikan
bagi dirinya dan kehidupannya.Mereka akan senantiasa melawan Komersialisasi
pendidikan dengan tekad kuat untuk bisa menggenggam pendidikan dengan tangannya
sendiri.
Semakin mahal pendidikan, semakin banyak kaum muda yang kebingungan. Kesulitan
menjadikan orang-orang yang lemah ekonomi berusaha mencukupi kebutuhan mereka
dengan cara apapun yang bisa mereka lakukan meskipun harus menapaki jalan yang
tidak dibenarkan. Mereka harus bersusah payah memikirkan bagaimana caranya
menghasilkan uang tanpa harus membebani orang tua. Meskipun lembaga pendidikan
berusaha mengatasinya dengan beasiswa, tetap saja tidak merata. Masih saja ada
beasiswa yang dinikmati oleh orang-orang yang terbilang mampu. Sedangkan mereka
yang terisolasi dan tidak mendapatkan kontribusi dari lembaga pendidikan harus
pasrah menerima keadaan dan berusaha semampunya untuk tetap bertahan. Sungguh
sebuah potret ironi kehidupan.
Seandainya kemiskinan teratasi, mungkin tidak akan ada anak yang tercerabut
haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Seandainya pendidikan tidak
mahal, aset penerus bangsa tidak hanya berkualitas dari segi materi tapi
berkualitas dari kemampuan dan kecerdasannya dalam membongkar pasang bangsa
dari kebobrokan dan keruntuhan moral. Akan tetapi kenyataannya, kita hanya bisa
berandai-andai di atas realita yang berbanding terbalik dengan harapan. Orang
kaya semakin makmur dengan hartanya, orang miskin semakin hancur dengan
kesulitannya. Meskipun tak jarang orang kaya yang hancur dengan
hutangnya. Sedangkan pendidikan menjadi korban kesenjangan sosial bangsa
Indonesia.
Pendidikan adalah identitas bangsa. Tanpa pendidikan, Bangsa tidak akan jadi
apa- apa. Akan tetapi pendidikan sekarang seolah-olah seperti barang antik yang
tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang
bisa melihat dan merasakan pendidikan itu seperti apa. Orang tak punya hamya
bisa gigit jari dan bertanya-tanya dalam hatinya, apa sih pendidikan? Seberapa
pentingkah pendidikan? Kalau begitu sebenarnya, apa yang menjadi landasan hukum
bangsa kita, hukum untuk kesejahteraan rakyat atau hukum untuk
kesejahteraan “sebagian” rakyat Indonesia?
Selain itu juga,akhir-akhir ini di lembaga pendidikan sudah mulai menjamur
suap-menyuap dan transaksi jual beli nilai. Dari kasus ini, apa kita patut
bangga dengan generasi penerus bangsa yang nilainya maksimal tapi otaknya bebal.
Kenapa materi harus jadi tokoh utama dalam dunia pendidikan, bagaimana nasib
orang-orang yang cerdas namun orang tak punya. Apakah mereka harus menjual
beras untuk ditukar dengan jaminan pendidikan? Sayangnya mereka tidak mau
disibukan untuk memikirkan pendidikan karena mereka harus memutar balikan otak
untuk mencari uang sebagai pemenuh kebutuhan mereka sehari-hari.
Kita juga tidak bisa mengingkari kepedulian pemerintah terhadap pendidikan
dengan adanya beasiswa untuk anak berprestasi dan tergolong tidak mampu.Akan
tetapi, tanpa dipungkiri masih banyak orang yang tergolong orang mampu
menikmati beasiswa hak orang lain. Bahkan tidak ada pemerataan dalam
pembagiannya. Selain itu juga, semakin besar jumlah beasiswa yang dikeluarkan,
maka semakin besar tarif biaya masuk yang diajukan. Itu sama saja
menginvestasikan uang kita sendiri dalam jumlah besar untuk jaminan beasiswa
yang kita sendiri juga tidak tau apakah akan kembali kepada kita lagi atau
tidak. Mungkin untuk orang berduit itu tidak jadi masalah, tapi untuk mereka yang
serba pas-pasan?
Percaya atau tidak, komersialisasi pendidikan mengurangi generasi penerus
bangsa yang peduli terhadap pendidikan. Banyak yang memilih untuk bekerja
mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang hidup pas-pasan dengan
penghasilan yang pas-pasan juga. Mereka lebih memilih memberi makan perut
daripada memberi makan otak dan rohani mereka dengan ilmu pendidikan. Bagaimana
bisa mencerdaskan kehidupan bangsa jika semuanya harus di bayar dengan mahal. Meskipun
begitu, tidak semua orang pas-pasan berfikir pas-pasan juga. Banyak kaum muda
yang membanting tulang demi kesetaraan pendidikan. Bahkan ada yang rela menjadi
kuli untuk menebus biaya pendidikan yang mencengangkan. Mereka yang punya
tujuan, mereka yang punya impian, mereka yang tak lelah berusaha demi
pendidikan, adalah pemenang yang tidak diam berpangku tangan menunggu malaikat
baik hati menolongnya. Karena bagi mereka tidak ada sesuatu yang mustahil jika
kita yakin bahwa kita bisa menciptakan keadilan dengan keyakinan akan Tuhan
yang telah memeluk impian kita.
Lembaga pendidikan seharusnya bisa lebih terbuka dalam berbagai aspek. Jangan
terlalu memaksakan kehendak demi kepentingan pribadi. Lembaga pendidikan harus
lebih peduli terhadap orang-orang pinggiran yang selain membutuhkan makanan
juga membutuhkan pendidikan juga. Supaya mereka bisa memperjuangkan
hidupnya untuk bisa lebih baik lagi. Jika orang tak punya masih tetap
terabaikan, bagaimana nasib Bangsa yang sangat membutuhkan banyak generasi
penerus untuk kemajuan bangsa. Apa kita tega menjadikan generasi penerus bangsa
sebagai sampah masyarakat yang tidak berguna.
Masyarakat Indonesia juga
dituntut untuk bisa memerangi Komersialisasi pendidikan. Tidak pasrah dengan
keadaan, tapi ada kemauan untuk mengenyam pendidikan. Tidak hanya menuntut
keadilan sambil berdiam diri menunggu keajaiban. Karena jika kita menginginkan
sesuatu, kita harus bergerak dan tidak berorasi sambil diam di tempat. Karena
kita tidak akan mencapai finish jika kita tidak berlari menujunya.Berusaha dan
berdoa supaya kita bisa kuat menjinakan komersialisasi pendidikan yang telah
mencapai puncak klimak. Kita harus menumbuhkan keyakinan bahwa pendidikan
sangat diperlukan untuk kehidupan kita, bukan dilihat dari segi materinya saja.
Pemerintah
seharusnya lebih bijak dalam meyelesaikan komersialisasi pendidikan. Jika
fasilitas mewah bisa di adakan, kenapa untuk pendidikan tidak bisa? Padahal
majunya suatu bangsa itu dikarenakan semakin berkualitasnya tonggak penerus
bangsa. Untuk itu, kenapa dipersulit jika pada akhirnya Negara sendiri yang
membutuhkannya. Dengan materi saja tidak akan cukup untuk membentuk karakter
bangsa yang ideal. Karena bertahan atau tidaknya suatu bangsa itu terletak pada
bahu kaum muda yang berkualitas.
Zahratushita