Rabu, 04 April 2012

Tema esai ;Menjinakan Komersialisasi dan Komoditasi Pendidikan
Judul :Pendidikan VS Kemiskinan
 
            Susahnya menjadi orang susah,segala sesuatu serba susah.Bahkan pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa malah jadi menyusahkan rakyat jelata.Mungkin keuangan yang maha kuasa kini telah menjadi slogan Bangsa kita.Kemiskinan membudaya, dan generasi penerus bangsa makin punah dengan kemiskinannya.
            Pendidikan sekarang ini nyaris tidak bisa di sentuh tangan orang tak punya. Komersialisasi pendidikan kini telah menjamur di lembaga pendidikan di Indonesia.Orang miskin semakin dicekik oleh kemiskinannya dan kesenjangan sosial semakin nampak di permukaan. Orang yang berpenghasilan besar semakin nyaman dengan penghasilannya dan orang yang berpenghasilan kecil semakin sulit memenuhi kebutuhannya.
            Sekarang kita Tanya pada diri kita sendiri,apakah pendidikan mempunyai misi untuk meningkatkan intelektualitas aset penerus bangsa atau meningkatkan keuangan suatu lembaga Pendidikan?.Mungkin kita bisa mendapatkan jawabannya dari tarif biaya sekolah yang semakin melambung tinggi, atau persaingan ketat antar lembaga pendidikan dengan memasang tarif biaya masuk besar-besaran.semakin besar biaya pendidikan, semakin menciut saja nyali orang berduit pas-pasan. Dengan begitu pendidikan yang harusnya dimulyakan sebagai wadah ilmu dunia dan akhirat, kini mulai terabaikan. Karena pendidikan  mahal tak seimbang bagi rakyat kecil yang tak mampu menyetarakan dirinya dengan orang berduit di dunia pendidikan. Meskipun terkadang uang tidak menjadi sebuah masalah bagi orang yang berkemaua dan memahami pentingnya pendidikan bagi dirinya dan kehidupannya.Mereka akan senantiasa melawan Komersialisasi pendidikan dengan tekad kuat untuk bisa menggenggam pendidikan dengan tangannya sendiri.
            Semakin mahal pendidikan, semakin banyak kaum muda yang kebingungan. Kesulitan menjadikan orang-orang yang lemah ekonomi berusaha mencukupi kebutuhan mereka dengan cara apapun yang bisa mereka lakukan meskipun harus menapaki jalan yang tidak dibenarkan. Mereka harus bersusah payah memikirkan bagaimana caranya menghasilkan uang tanpa harus membebani orang tua. Meskipun lembaga pendidikan berusaha mengatasinya dengan beasiswa, tetap saja tidak merata. Masih saja ada beasiswa yang dinikmati oleh orang-orang yang terbilang mampu. Sedangkan mereka yang terisolasi dan tidak mendapatkan kontribusi dari lembaga pendidikan harus pasrah menerima keadaan dan berusaha semampunya untuk tetap bertahan. Sungguh sebuah potret ironi kehidupan.
            Seandainya kemiskinan teratasi, mungkin tidak akan ada anak yang tercerabut haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Seandainya pendidikan tidak mahal, aset penerus bangsa tidak hanya berkualitas dari segi materi tapi berkualitas dari kemampuan dan kecerdasannya dalam membongkar pasang bangsa dari kebobrokan dan keruntuhan moral. Akan tetapi kenyataannya, kita hanya bisa berandai-andai di atas realita yang berbanding terbalik dengan harapan. Orang kaya semakin makmur dengan hartanya, orang miskin semakin hancur dengan kesulitannya. Meskipun tak jarang orang kaya yang hancur dengan hutangnya. Sedangkan pendidikan menjadi korban kesenjangan sosial bangsa Indonesia.
            Pendidikan adalah identitas bangsa. Tanpa pendidikan, Bangsa tidak akan jadi apa- apa. Akan tetapi pendidikan sekarang seolah-olah seperti barang antik yang tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat dan merasakan pendidikan itu seperti apa. Orang tak punya hamya bisa gigit jari dan bertanya-tanya dalam hatinya, apa sih pendidikan? Seberapa pentingkah pendidikan? Kalau begitu sebenarnya, apa yang menjadi landasan hukum bangsa kita, hukum untuk kesejahteraan rakyat atau hukum untuk  kesejahteraan  “sebagian” rakyat Indonesia?
            Selain itu juga,akhir-akhir ini di lembaga pendidikan sudah mulai menjamur suap-menyuap dan transaksi jual beli nilai. Dari kasus ini, apa kita patut bangga dengan generasi penerus bangsa yang nilainya maksimal tapi otaknya bebal. Kenapa materi harus jadi tokoh utama dalam dunia pendidikan, bagaimana nasib orang-orang yang cerdas namun orang tak punya. Apakah mereka harus menjual beras untuk ditukar dengan jaminan pendidikan? Sayangnya mereka tidak mau disibukan untuk memikirkan pendidikan karena mereka harus memutar balikan otak untuk mencari uang sebagai pemenuh kebutuhan mereka sehari-hari.
            Kita juga tidak bisa mengingkari kepedulian pemerintah terhadap pendidikan dengan adanya beasiswa untuk anak berprestasi dan tergolong tidak mampu.Akan tetapi, tanpa dipungkiri masih banyak orang yang tergolong orang mampu menikmati beasiswa hak orang lain. Bahkan tidak ada pemerataan dalam pembagiannya. Selain itu juga, semakin besar jumlah beasiswa yang dikeluarkan, maka semakin besar tarif biaya masuk yang diajukan. Itu sama saja menginvestasikan uang kita sendiri dalam jumlah besar untuk jaminan beasiswa yang kita sendiri juga tidak tau apakah akan kembali kepada kita lagi atau tidak. Mungkin untuk orang berduit itu tidak jadi masalah, tapi untuk mereka yang serba pas-pasan?
            Percaya atau tidak, komersialisasi pendidikan mengurangi generasi penerus bangsa yang peduli terhadap pendidikan. Banyak yang memilih untuk bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang hidup pas-pasan dengan penghasilan yang pas-pasan juga. Mereka lebih memilih memberi makan perut daripada memberi makan otak dan rohani mereka dengan ilmu pendidikan. Bagaimana bisa mencerdaskan kehidupan bangsa jika semuanya harus di bayar dengan mahal. Meskipun begitu, tidak semua orang pas-pasan berfikir pas-pasan juga. Banyak kaum muda yang membanting tulang demi kesetaraan pendidikan. Bahkan ada yang rela menjadi kuli untuk menebus biaya pendidikan yang mencengangkan. Mereka yang punya tujuan, mereka yang punya impian, mereka yang tak lelah berusaha demi pendidikan, adalah pemenang yang tidak diam berpangku tangan menunggu malaikat baik hati menolongnya. Karena bagi mereka tidak ada sesuatu yang mustahil jika kita yakin bahwa kita bisa menciptakan keadilan dengan keyakinan akan Tuhan yang telah memeluk impian kita.
            Lembaga pendidikan seharusnya bisa lebih terbuka dalam berbagai aspek. Jangan terlalu memaksakan kehendak demi kepentingan pribadi. Lembaga pendidikan harus lebih peduli terhadap orang-orang pinggiran yang selain membutuhkan makanan juga membutuhkan pendidikan juga. Supaya mereka bisa memperjuangkan hidupnya untuk bisa lebih baik lagi. Jika orang tak punya masih tetap terabaikan, bagaimana nasib Bangsa yang sangat membutuhkan banyak generasi penerus untuk kemajuan bangsa. Apa kita tega menjadikan generasi penerus bangsa sebagai sampah masyarakat yang tidak berguna.
Masyarakat Indonesia juga dituntut untuk bisa memerangi Komersialisasi pendidikan. Tidak pasrah dengan keadaan, tapi ada kemauan untuk mengenyam pendidikan. Tidak hanya menuntut keadilan sambil berdiam diri menunggu keajaiban. Karena jika kita menginginkan sesuatu, kita harus bergerak dan tidak berorasi sambil diam di tempat. Karena kita tidak akan mencapai finish jika kita tidak berlari menujunya.Berusaha dan berdoa supaya kita bisa kuat menjinakan komersialisasi pendidikan yang telah mencapai puncak klimak. Kita harus menumbuhkan keyakinan bahwa pendidikan sangat diperlukan untuk kehidupan kita, bukan dilihat dari segi materinya saja.
Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam meyelesaikan komersialisasi pendidikan. Jika fasilitas mewah bisa di adakan, kenapa untuk pendidikan tidak bisa? Padahal majunya suatu bangsa itu dikarenakan semakin berkualitasnya tonggak penerus bangsa. Untuk itu, kenapa dipersulit jika pada akhirnya Negara sendiri yang membutuhkannya. Dengan materi saja tidak akan cukup untuk membentuk karakter bangsa yang ideal. Karena bertahan atau tidaknya suatu bangsa itu terletak pada bahu kaum muda yang berkualitas.
 
Zahratushita
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar