Sabtu, 31 Desember 2011

Bersamamu Di Hujan Biru

Bersamamu Di Hujan Biru
 
fajar merekah di ufuk timur.Pagi melipat jubah hitamnya yang tergerai disaat bumi terlelap.Meskipun aku terjaga pada saat itu.Bayang-bayang hitam masa lalu masih membekas diingatanku.Aku malu dengan waktu.Bagiku tak akan ada cahaya kehidupan yang dapat menerangi sisi gelapku.
 
Pagi ini entah apa yang harus aku lakukan.Jika aku keluar rumah,apakah dunia masih menertawakan penderitaanku?.Entahlah,aku menjadi muak dengan semua ini.Seandainya waktu itu aku mati saja,mungkin aku tidak akan pernah merasakan tanganku yang pegal karena terlalu sering mengayuh kursi roda yang kini sudah menjadi atribut khasku.Atribut orang tak berguna dan tersisihkan oleh dunia.

Saat itu hujan begitu lebat.Mendung hitam menebal.Titik-titik air berjatuhan membasahi baju yang kami kenakan.Untungnya di tengah perjalanan kami menemukan sebuah rumah kecil untuk kami berteduh.
"kamu lapar,nak?"Bapak menatapku dengan lembut.
Aku menggelengkan kepala dan Bapak pun mengerti maksudku.Buatku rasa lapar yang kurasa tak sebanding dengan kenyataan menyakitkan yang harus Bapak terima.Seandainya Bapak tidak di PHK, mungkin Bapak tidak akan pulang cepat dan menyaksikan tontonan menjijikan di depan matanya.Kejadian itu membuat Bapak marah dan keluar rumah meninggalkan Ibu yang telanjang bulat di kamar tidurnya bersama lelaki hidung belang yang tak lain adalah Sartono,sahabat Bapak sejak kecil di kampung. Bapak menarikku untuk pergi meninggalkan rumah.Bagi anak umur sebelas tahun sepertiku,terlalu dini untuk mengetahui hal semacam ini.Dan aku lebih memilih Bapak karena Bapak kini sudah tak punya apa-apa lagi kecuali aku.Setidaknya ibu masih punya sartono,mungkin.
Sebenarnya sudah lama aku tau soal kedekatan Ibu dengan Sartono.Sejak Bapak sering lembur dan sejak Sartono numpang di rumah kami tentunya.Bapak sangat dekat sekali dengan sahabatnya itu.Makanya bapak tidak merasa keberatan Sartono numpang sementara waktu di rumah kami.
"Aku bingung dengan apa aku harus membalas kebaikanmu,dam."Itulah kalimat rendahan yang terucap dari mulut sartono pada saat dia diijinkan numpang di rumah kami sementara waktu,selama dia mencari pekerjaan di kota.Dan dia pun membalasnya dengan luka yang kini basah di hati Bapak.
"Kamu gak nyesel ikut Bapak?seenggaknya kalau kamu tadi memilih tetap tinggal di rumah,mungkin sekarang kamu gak akan kedinginan seperti ini."keluh Bapak lesu.
"Aku gak akan merasa menyesal selama Bapak tetap disamping Iwan."Bapak tersenyum mendengar ucapanku.
"Bapak bangga sama kamu,nak."kata Bapak sambil menepuk-menepuk bahuku.

Bagiku sekarang,Bapak adalah satu-satunya harta berharga yang aku punya.Mungkin sekarang aku tidak punya rumah dan harus terbiasa menahan lapar yang melilit perut.Tapi aku punya Bapak,yang sekarang bagiku adalah segala-galanya.Aku juga siap menerima resiko putus sekolah jika Bapak tidak sanggup menanggung biaya sekolahku,meskipun sebentar lagi aku ujian sekolah dan harapanku untuk dilanjutkan sekolah pun sekarang sudah menjadi undian nasib.Bahkan hidupku ini tergadaikan oleh kefakiran.

Hujan mulai menipis.Langit mulai merekahkan mendung yang menebal sejak tadi.Kuperhatikan raut wajah Bapak,sendu dan tak bergairah.Ada gurat-gurat sedih di balik kulitnya yang sudah mulai menuai.Ingin rasanya kuhapus kesakitan yang berkecamuk di hati Bapak.Mungkin Bapak bingung,apa yang harus dia lakukan untuk biaya hidup kami berdua ke depannya.
Kami berjalan tanpa tau tujuan.Aku mulai merasa keseimbangan tubuhku mulai berkurang.Rasa lapar yang ku tahan sejak tadi,menubruk kebungkamanku untuk berani mengatakan pada Bapak,
"Pak,sebenarnya sejak tadi perutku sakit menahan lapar."

Bapak berjalan di depanku.Aku mengikuti Bapak dari belakang sambil memegang bahkan menekan perutku yang tidak bisa di ajak kompromi.Aku tak tega jika harus mengatakan bahwa aku kelaparan karena sejak tadi pagi aku belum makan.Akan tetapi,rasa sakit ini semakin menjadi.Kini aku mulai sulit tuk bergerak dan kepalaku pusing,pusing sekali. Aku terjatuh dan tak mampu tuk berdiri. Bapak menoleh ke belakang dan segera menghampiriku.
"Kamu kenapa?muka kamu pucat sekali."tanya Bapak cemas.
Aku hanya bisa memandangi wajah Bapak yang terlihat samar-samar.Aku tak bisa berkata sepatah kata pun.Kemudian Bapak memapahku ke tepi jalan.Sejenak Bapak menatapku dalam-dalam.
"tunggu sebentar,nak.Bapak akan segera kembali."
Bapak pergi meninggalkan aku sendiri di pinggir jalan.Entah apa yang ada difikiran Bapak, yang jelas aku tak mampu bertanya kemana Bapak hendak pergi.

satu jam lamanya aku disini dan Bapak tak kunjung datang.Aku ingin sekali berlari mencari Bapak,tapi badanku masih terasa lemas.Aku hanya bisa menatap langit yang memutih.Bersandar pada sebatang pohon tanpa ada orang yang peduli.

Cuaca cerah kembali.Jalanan sepi mulai terkendali.Sudah mulai ada mobil – mobil yang berseliweran melewatiku.Rasanya Aku tidak bisa berdiam diri terus menerus disini.Kupaksakan diriku untuk beranjak pergi mencari Bapak.Kuseret tubuhku dengan tenaga seadanya.Kupastikan kaki ini tetap melangkah meski sesekali harus bertumpu pada pohon ditepi jalan.

tidak lama kemudian terdengar suara gaduh dikejauhan.Ku mencoba tuk mendekat ke arah sumber suara.Ku mendapati sekelompok massa yang sedang memukuli seorang lelaki di seberang jalan.Mereka tak henti-hentinya memukuli orang itu tanpa belas kasihan.Bahkan cacian terlontar begitu saja dari mulut mereka.Aku mulai merasa penasaran,siapa orang yang mereka hakimi dan diteriaki maling itu.Ketika aku mendekat dan memastikannya,dari sebrang jalan aku baru bisa melihat jelas wajah babak belur itu.
"Bapak!"

Aku sama sekali tak berharap orang yang dihajar massa itu adalah Bapak.Jika benar itu Bapak,aku ingin segera bangun karena aku yakin ini pasti mimpi.Tapi wajah sendu di balik memar yang membiru itu,membuatku tidak bisa mengingkari kalau dia itu adalah Bapak. Tiba-tiba aku menjadi hilang kendali.Rasa sakit yang sejak tadi kurasakan kini mulai aku abaikan.Aku berlari untuk menghambur ke keramaian massa.Aku sudah tidak memikirkan apa-apa kecuali Bapakku yang babak belur dihajar massa.
ketika aku menyebrangi jalan,tiba-tiba sebuah truk berjalan ke arahku.Truk tersebut melaju begitu cepat dan tak terkendali.Aku terkejut membisu di tengah jalan.Orang-orang berteriak dan,
Aaahhh!
tubuhku terpelanting,tulangku serasa remuk ketika terhempas ke tanah.Jiwaku serasa melayang dan seolah-olah aku merasakan perputaran bumi yang begitu cepat.Semuanya samar terlihat.Aku tak mampu menangkap suara-suara yang mendengung di telinga.Tapi aku merasakan pelukan hangat dan sebuah kecupan dikeningku.

Peristiwa itu adalah saat-saat terakhirku bersama Bapak.Pelukan hangat itu adalah pelukan terakhir dari Bapak sebelum akhirnya Bapak dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencurian.Dan aku tau,itu semua Bapak lakukan untuk aku yang hampir mati kelaparan.
jika Bapak sudah keluar penjara,aku akan ikut Bapak lagi bahkan jika sekarang aku dipenjara bersama Bapak aku rela.Karena aku muak tinggal bersama Ibu dan Bapak tiriku,Sartono.Seandainya Bapak tau keadaanku sekarang,mungkin bapak aka bawa aku pergi jauh dari rumah terkutuk ini.Aku sudah tidak tahan lagi melihat Sartono berjudi dan mabuk-mabukan.Sedangkan ibu tidak bisa berkutik di hadapan Sartono yang kini lebih suka main fisik.
Bagi mereka ada atau tidaknya aku,tidak jauh berbeda.Sekarang aku merasa bukan kakiku saja yang buntung,tapi hatiku juga.



karya :Zahratushita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar